Wahai warga Majalengka dan para pengamat dari luar sana yang penasaran, mari kita bicara dari hati ke hati, tapi pakai data simulasi biar agak ilmiah sedikit. Majalengka. Dulu mungkin di benak banyak orang cuma identik sama terasering Panyaweuyan yang cakep, atau paling jauh sama Oncom. Sekarang? Nama Majalengka mendadak ‘naik kelas’ seiring beroperasinya Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dan jalan tol yang nyambung ke mana-mana. Katanya, Majalengka bakal jadi ‘kota aerotropolis’, pusat pertumbuhan baru di Jawa Barat. Keren, ya? Tapi, tunggu dulu. Di balik gemuruh mesin pesawat dan mulusnya aspal tol, apakah ‘kemajuan’ ini benar-benar dinikmati seluruh warga Majalengka? Atau ini cuma kemajuan di atas kertas dan ‘proyek’ besar yang dinikmati segelintir orang?
Mari kita bedah pakai kacamata santai tapi kritis. Potensi Majalengka itu segede gaban, serius! Selain bandara dan tol, kita punya alam yang aduhai: gunung (Ciremai sebagian masuk Majalengka!), perbukitan hijau, curug (air terjun) yang banyak banget sampai bingung milihnya, dan yang paling ikonik: terasering Panyaweuyan yang instagramable parah. Belum lagi potensi agrikultur kita, mulai dari padi, bawang, mangga gedong gincu, sampai berbagai jenis sayuran dan komoditas lain. Lokasi strategis, sumber daya alam melimpah, sumber daya manusia (katanya) siap. Harusnya, dengan modal kayak gini, Majalengka udah jadi ‘Singapura’-nya Jawa Barat, kan?
Tapi faktanya? Coba kita lihat data simulasi ini. Anggap saja sebelum ada BIJB dan tol, kontribusi sektor pariwisata dan perdagangan skala lokal ke PDB Majalengka (simulasi kasar ya) itu sekitar 15%. Nah, setelah BIJB beroperasi full (meski sempat tersendat pandemi, mari kita proyeksikan dalam kondisi normal baru), dengan segala kemudahan aksesnya, logikanya angka ini harusnya melonjak drastis dong? Misal, targetnya bisa tembus 30% dalam lima tahun. Tapi, menurut ‘analisis simulasi’ kita, kenaikannya mungkin baru di kisaran 5-7% saja dalam periode yang sama. Kok bisa?
Ini dia penyakitnya. Infrastruktur besar sudah dibangun, ‘pintunya’ sudah terbuka lebar, tapi ‘isi rumahnya’ belum siap menerima tamu. Ambil contoh pariwisata. Terasering Panyaweuyan memang ramai, apalagi akhir pekan. Tapi, fasilitas pendukungnya gimana? Akses jalan di beberapa titik masih sempit atau rusak, lahan parkir terbatas, toilet seadanya, dan pengelolaan sampah? Jangan tanya. Pedagang lokal memang kecipratan rezeki, tapi apakah ada sistem yang memastikan mereka bisa ‘naik kelas’? Atau cuma jadi penonton yang jualan di pinggir jalan?
Curug-curug kita? Banyak yang potensial banget, tapi akses ke sana seringkali perjuangan. Perlu jalan kaki berkilo-kilometer, medannya terjal, tanpa petunjuk arah yang jelas, dan fasilitas minimalis. Pengunjung datang sekali, mungkin kapok buat balik lagi bawa keluarga atau teman banyak. Bandingkan dengan daerah lain yang punya potensi alam serupa tapi pengelolaannya jauh lebih profesional. Mereka bisa menarik investor, membangun fasilitas, melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam paket wisata, sampai bikin event rutin yang menarik turis.
Nah, ini nyambung ke isu sumber daya manusia dan kelembagaan. Pembangunan ‘aerotropolis’ itu butuh SDM yang melek teknologi, melek pariwisata modern, melek ekonomi kreatif. Apakah program pelatihan untuk warga lokal sudah masif dan tepat sasaran? Atau jangan-jangan, begitu ada hotel atau bisnis baru buka di sekitar bandara, yang dipekerjakan justru orang dari luar Majalengka karena dianggap lebih siap? Ini pertanyaan kritis yang harus dijawab.
Lalu, soal pertanian. Majalengka itu lumbung pangan, plus penghasil komoditas unggulan kayak mangga. Akses tol dan bandara katanya mempermudah distribusi. Harusnya harga produk pertanian kita makin bagus di pasar luar daerah atau bahkan ekspor. Tapi, apakah para petani kita merasakan manfaatnya? Atau mereka masih berhadapan dengan tengkulak yang menekan harga, kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi, dan minimnya inovasi dalam pascapanen? Infrastruktur jalan tol memang memudahkan truk logistik, tapi apakah infrastruktur jalan usaha tani di desa-desa juga ikut diperbaiki? Apakah ada fasilitas penyimpanan atau pengolahan modern di tingkat lokal yang bisa meningkatkan nilai tambah produk pertanian kita?
Menurut ‘ilustrasi data rantai pasok’ yang kita buat, petani mangga di Majalengka mungkin menjual mangganya dengan harga Rp 10.000/kg di tingkat petani. Sampai di kota besar, harga mangga jenis yang sama bisa Rp 25.000-Rp 30.000/kg di supermarket atau pasar modern. Selisih Rp 15.000-Rp 20.000 itu dinikmati siapa? Sebagian besar oleh pedagang perantara, distributor, dan pengecer. Petani yang kerja keras menanam, merawat, dan memanen, cuma dapat porsi kecil. Ini kan ironis! Padahal, kalau ada koperasi petani yang kuat, punya fasilitas pengemasan, dan akses langsung ke pasar modern atau eksportir via BIJB, porsi keuntungan petani bisa jauh lebih besar.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah sinergi. Punya bandara kelas internasional, punya tol, punya kawasan industri baru, punya destinasi wisata. Semuanya potongan puzzle yang kalau disatukan bisa membentuk gambaran Majalengka yang luar biasa maju. Tapi, apakah kepingan-kepingan ini sudah benar-benar tersambung? Apakah ada koordinasi yang kuat antara pemerintah daerah, pengelola bandara, pengelola kawasan industri, pelaku pariwisata, dan masyarakat? Jangan-jangan, semua jalan sendiri-sendiri. Pengelola bandara fokus pada target penumpang dan kargo, kawasan industri fokus cari investor besar, dinas pariwisata fokus promosi (tapi lupa beresin fasilitas), dan petani fokus bertani (tanpa tahu ada peluang pasar baru via bandara).
BIJB itu aset luar biasa, tapi dia ibarat ‘gerbang mewah’. Kalau di belakang gerbang itu isinya masih ‘rumah yang berantakan’ (fasilitas kurang, SDM belum siap, birokrasi ribet, sinergi lemah), ya tamu yang masuk lewat gerbang mewah itu paling cuma numpang lewat, atau datang sebentar terus kecewa. Mereka akan memilih daerah lain yang ‘isi rumahnya’ lebih rapi dan nyaman untuk berinvestasi atau berlama-lama berwisata.
Simulasi lain: Anggap ada 100 investor atau turis ‘berkualitas’ (misal, punya potensi spending besar) yang datang via BIJB per hari. Berapa persen dari mereka yang akhirnya menghabiskan waktu dan uangnya di Majalengka? Menurut ‘estimasi konservatif’ kita, mungkin hanya 20-30%. Sisanya? Langsung cabut ke Bandung, Cirebon, Kuningan, atau bahkan Jawa Tengah. Kenapa? Karena Majalengka belum cukup ‘menggoda’ untuk membuat mereka tinggal lebih lama. Kurang atraksi, kurang fasilitas pendukung (hotel berkualitas, restoran variatif, transportasi lokal yang nyaman), atau mungkin informasi dan paket wisatanya kurang menarik.
Pemerintah daerah bukannya diam. Ada program ini, program itu. Tapi, apakah programnya sudah menyentuh akar masalah? Apakah fokusnya sudah bergeser dari sekadar pembangunan fisik ‘mercusuar’ ke pembangunan SDM dan ekosistem bisnis yang sehat? Pembangunan itu harusnya dari bawah ke atas, melibatkan masyarakat, bukan cuma dari atas ke bawah yang terkadang malah menimbulkan masalah sosial baru, seperti isu pembebasan lahan atau perubahan fungsi lahan pertanian produktif menjadi industri atau perumahan tanpa perencanaan matang.
Mari kita jujur, di balik narasi ‘Majalengka Maju’, masih banyak pekerjaan rumah. Infrastruktur desa masih banyak yang butuh sentuhan. Akses pendidikan dan kesehatan berkualitas di pelosok masih jadi tantangan. Potensi ekonomi kreatif lokal belum tergarap maksimal. Birokrasi yang mudah dan ramah investor (terutama investor lokal skala kecil-menengah) masih perlu ditingkatkan. Dan yang paling penting, bagaimana memastikan ‘kue’ pembangunan ini bisa dinikmati lebih merata oleh seluruh warga, bukan hanya segelintir orang atau mereka yang punya akses?
BIJB dan tol adalah katalis. Mereka bisa mempercepat kemajuan, tapi juga bisa mempercepat kesenjangan jika tidak dikelola dengan bijak. Majalengka punya potensi besar untuk menjadi ‘Singapura’ atau bahkan ‘Swiss’-nya Jawa Barat (kalau lihat alamnya ya). Tapi, mimpi itu tidak akan terwujud hanya dengan modal bandara dan tol. Butuh kerja keras, sinergi, inovasi, keberpihakan pada masyarakat lokal, dan yang paling penting, keberanian untuk melihat masalah apa adanya, sekritis apapun itu, dan bukan hanya sibuk dengan pencitraan dan narasi ‘sukses’ di permukaan. Warga Majalengka berhak mendapatkan lebih dari sekadar ‘gerbang mewah’ di depan rumah mereka.
Komentar