Majalengka. Mendengar namanya saja, yang terbayang adalah hamparan sawah hijau yang membentang luas, seolah tak berujung. Kabupaten ini memang dikenal sebagai salah satu lumbung padi Jawa Barat, bahkan Indonesia. Beras dari Majalengka konon kualitasnya jempolan, menghidupi jutaan perut. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak, di tengah gemuruh mesin penggilingan padi atau hiruk pikuk pasar beras, dan bertanya: Beras Ada, Petani Mana?
Ini bukan pertanyaan iseng. Ini adalah pertanyaan yang mengusik, bahkan mungkin merisaukan, bagi masa depan ketahanan pangan kita, khususnya di tanah Majalengka sendiri. Di balik onggokan karung beras yang menggunung, ada wajah-wajah yang semakin menua, punggung yang semakin bungkuk, dan tangan yang semakin keriput. Mereka adalah para pejuang pangan kita, para petani yang setia menggarap lahan.
Namun, coba tengok di pematang sawah. Berapa banyak anak muda usia produktif (misalnya, 18-35 tahun) yang sibuk mencangkul, menanam, atau merawat padi? Jujur saja, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar petani yang kita temui adalah generasi yang lahir jauh sebelum era milenial, bahkan mungkin sebelum internet jadi barang lumrah. Generasi bapak-bapak, kakek-kakek, bahkan ada yang sudah nenek-nenek, yang masih setia bergulat dengan lumpur dan terik matahari.
Krisis regenerasi petani, itulah nama penyakit kronis yang diam-diam menggerogoti sektor pertanian di Majalengka. Ibarat mesin yang tenaganya makin surut, sektor vital ini terancam kehilangan daya gedornya karena minimnya suplai ‘energi’ baru dari generasi muda. Kenapa anak muda Majalengka, yang besar di lingkungan agraris, justru enggan turun ke sawah mewarisi profesi leluhurnya?
Banyak alasannya, dan semuanya cukup masuk akal dari sudut pandang mereka. Pertama, soal ekonomi. Siapa sih yang mau bekerja keras dari pagi sampai sore, mandi keringat, bergelut dengan risiko gagal panen (serangan hama, penyakit, cuaca ekstrem), tapi hasilnya pas-pasan? Bertani, terutama bagi petani gurem atau penggarap, seringkali dianggap kurang menjanjikan secara finansial. Harga pupuk mahal, harga obat-obatan mahal, biaya sewa lahan mahal (jika tidak punya lahan sendiri), belum lagi harga jual gabah yang fluktuatif dan seringkali dipermainkan tengkulak. “Mending kerja di pabrik, gajinya jelas setiap bulan,” begitu kira-kira gumaman yang sering terdengar.
Sebagai ilustrasi simulasi, mari kita bandingkan. Seorang pemuda lulusan SMA di Majalengka, jika bekerja di sektor industri (misalnya pabrik di kawasan Cikarang atau Bandung, yang sering jadi tujuan merantau anak muda Majalengka), dengan UMR yang katakanlah sekitar Rp 3,5 juta per bulan, dalam setahun bisa mengantongi Rp 42 juta. Dikurangi biaya hidup, masih ada sisa. Sementara itu, petani penggarap di Majalengka dengan lahan 0,5 hektar, dalam satu musim tanam (sekitar 3-4 bulan), hasil bersihnya (setelah dipotong biaya operasional, sewa lahan, pupuk, dll) mungkin hanya Rp 5-7 juta. Kalau setahun bisa tanam 2-3 kali, hasilnya mungkin Rp 15-20 juta kotor. Bersihnya? Bisa jadi jauh di bawah itu, apalagi jika ada gagal panen. Mana yang lebih menarik bagi anak muda yang butuh kepastian finansial untuk membangun masa depan, menikah, atau mencicil rumah? Jawabannya jelas.
Kedua, soal citra dan gengsi. Bertani masih sering dipandang sebelah mata. Dianggap pekerjaan orang kampung, kotor, kampungan, dan tidak ‘modern’. Bandingkan dengan bekerja di kantor, memakai seragam rapi, atau menjadi karyawan di pusat perbelanjaan. Anak muda sekarang, dengan paparan media sosial dan gaya hidup urban, cenderung mencari profesi yang dianggap lebih ‘keren’ dan ‘kekinian’. Status sosial seringkali lebih penting daripada kontribusi nyata terhadap ketahanan pangan.
Ketiga, kurangnya akses terhadap modal dan teknologi. Pertanian modern butuh investasi: bibit unggul, pupuk berimbang, alat mesin pertanian (alsintan), teknologi irigasi efisien, sampai akses informasi harga pasar. Modal awal untuk memulai usaha tani, apalagi skala yang agak besar, tidak sedikit. Anak muda yang baru lulus atau belum punya pengalaman tentu kesulitan mengakses permodalan, apalagi jika tidak punya aset sebagai jaminan. Program kredit usaha tani (KUR) ada, tapi seringkali prosedurnya dianggap rumit atau sasarannya tidak tepat.
Soal teknologi? Alsintan seperti traktor, transplanter (mesin tanam), atau harvester (mesin panen) harganya mahal. Petani individual sulit menjangkau. Sebenarnya ada potensi penggunaan teknologi digital, seperti aplikasi pantau cuaca, deteksi hama via citra satelit, atau platform pemasaran online. Tapi, pengetahuan dan akses terhadap teknologi ini belum merata, terutama di kalangan petani tua. Anak muda yang melek teknologi justru tidak tertarik bertani, jadi pengetahuan itu tidak tersalurkan ke sawah.
Keempat, sistem pendidikan dan pelatihan yang kurang relevan. Sekolah-sekolah pertanian ada, tapi outputnya belum tentu langsung terjun ke sektor primer. Kurikulum mungkin masih terlalu teoritis atau tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Pelatihan pertanian dari pemerintah atau swasta seringkali tidak berkelanjutan, hanya program musiman, dan kurang menarik minat anak muda karena materinya kering atau dianggap tidak memberikan solusi konkret terhadap masalah yang dihadapi petani sehari-hari.
Kelima, kurangnya dukungan dan kebijakan yang pro-petani muda. Apakah ada insentif khusus bagi anak muda yang mau bertani? Apakah ada kemudahan akses lahan bagi mereka? Apakah ada pendampingan bisnis pertanian yang komprehensif, bukan hanya sekadar penyuluhan teknis? Seringkali program pemerintah lebih fokus pada peningkatan produksi dalam jangka pendek, misalnya bagi-bagi bibit atau pupuk (yang juga sering bermasalah distribusinya), daripada membangun ekosistem pertanian yang berkelanjutan dan menarik bagi generasi baru.
Dampak dari krisis regenerasi ini mengerikan, baik bagi Majalengka maupun Indonesia. Pertama, ancaman ketahanan pangan. Jika petani makin sedikit dan makin tua, siapa yang akan menanam padi untuk kita makan di masa depan? Ketergantungan pada impor pangan akan meningkat, membuat kita makin rentan terhadap gejolak harga dunia.
Kedua, terbengkalainya lahan pertanian. Di beberapa daerah, sudah mulai terlihat lahan sawah yang tidak digarap maksimal, atau bahkan beralih fungsi menjadi perumahan atau industri. Jika tidak ada petani yang menggarap, lahan subur Majalengka yang potensial itu akan sia-sia.
Ketiga, hilangnya pengetahuan lokal. Teknik bertani tradisional, pengetahuan tentang varietas lokal, penanganan hama dan penyakit secara alami, semuanya adalah kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Jika generasi tua pensiun atau meninggal tanpa ada penerus, pengetahuan berharga ini bisa punah.
Keempat, kemiskinan di pedesaan. Jika pertanian tidak lagi menjanjikan dan tidak ada alternatif ekonomi lain yang kuat, masyarakat pedesaan akan makin terpinggirkan dan miskin.
Jadi, apa yang harus dilakukan? Ini bukan sekadar tanggung jawab pemerintah, tapi kita semua. Pemerintah daerah Majalengka perlu memikirkan kebijakan yang lebih radikal dan menarik bagi anak muda. Bukan sekadar program formalitas, tapi program yang menjawab akar masalah: akses modal, akses teknologi, akses pasar, dan jaminan pendapatan.
Misalnya, bisa diinisiasi program permodalan bersubsidi khusus untuk petani muda, pembentukan koperasi pertanian yang dikelola anak muda dengan pendampingan profesional, pelatihan intensif pertanian modern (termasuk smart farming, pertanian organik, atau agrowisata) yang menggandeng praktisi sukses, serta fasilitasi akses langsung ke pasar melalui platform digital atau kemitraan dengan industri pangan besar.
Komunitas dan masyarakat juga punya peran. Bangun narasi positif tentang pertanian. Tunjukkan bahwa bertani itu bisa ‘keren’, bisa menguntungkan, dan bisa berkontribusi besar bagi bangsa. Perkenalkan model-model petani milenial sukses yang sudah ada (meskipun jumlahnya mungkin masih sedikit di Majalengka) sebagai inspirasi. Mungkin butuh kampanye besar-besaran untuk mengubah persepsi negatif tentang bertani.
Institusi pendidikan juga perlu merevolusi kurikulum pertanian, membuatnya lebih praktis, relevan dengan kebutuhan pasar, dan membekali siswa dengan skill kewirausahaan pertanian. Bukan hanya mencetak sarjana pertanian yang akhirnya kerja di bank, tapi yang berani kotor dan terjun langsung ke lumpur, menjadi ‘CEO’ di lahan pertaniannya sendiri.
Simulasi data terbaru dari sebuah lembaga riset independen (fiktif, untuk ilustrasi) menunjukkan bahwa jika tren penuaan petani ini terus berlanjut tanpa intervensi signifikan, diperkirakan dalam 15-20 tahun ke depan, jumlah petani aktif di Majalengka bisa menurun drastis hingga 40-50%, dan sebagian besar yang tersisa adalah petani usia lanjut. Ini skenario mimpi buruk yang harus kita cegah bersama.
Beras memang ada di lumbung Majalengka, setidaknya untuk saat ini. Tapi, jangan sampai di masa depan, yang tersisa hanyalah hamparan sawah yang sepi, tanpa ada tangan-tangan terampil yang mau merawatnya. Krisis regenerasi petani bukan hanya masalah sektoral, ini adalah masalah kelangsungan hidup kita. Saatnya anak muda Majalengka, dan kita semua, membuka mata dan bertanya lagi dengan lebih serius: Beras Ada, Petani Mana? Dan yang lebih penting: Siapa yang mau menjadi Petani itu?
Majalengka punya potensi besar. Lahan subur, pemandangan indah yang bisa dikembangkan jadi agrowisata, dan sumber daya manusia yang cerdas (meski banyak yang ‘kabur’ ke kota). Jika potensi ini bisa dioptimalkan, dengan dukungan ekosistem yang tepat dan peran aktif generasi muda, pertanian Majalengka bisa bangkit, lebih modern, lebih sejahtera, dan yang pasti, lebih berkelanjutan. PR besar bagi kita semua.
Komentar
Apa itu petani